Selasa, 15 November 2011

Memudarnya Mojopahit

Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung

(Bahasa Halus Memudarnya dan Gejolak Kekuasaan Mojopahit )

Suryasengkala “Sirna Ilang Krtaning Bhumi” alias angka tahun 1400 Caka (1478 Masehi) menjadi terbuka untuk ditafsir ulang. Tahun 1400 Caka dipakai oleh beberapa ahli sejarah sebagai akhir Majapahit berdasarkan dua babad sejarah terkenal “Serat Kanda” dan “Babad Tanah Jawi” dan catatan2 perjalanan bangsa-bangsa asing yang pernah mampir ke Jawa pada saat itu. Memang, masih ada raja-raja Majapahit terakhir setelah 1478 M, seperti raja Girindrawardhana (1478-1498 M) dan Brawijaya VIII (1498-1518 M), sebelum Majapahit benar-benar bubar pada tahun 1518 M. Tetapi, dari tahun 1478 M sampai 1518 M, Majapahit adalah kerajaan bawahan Demak yang saat itu lebih kuat. Tahun 1518 M kekuasaan di Jawa sudah didominasi penguasa Islam seperti Raden Patah dan adipati Unus.

Manurut buku de Graaf (1949) – Geschiedenis van Indonesie (Sejarah Indonesia) – buku ini senilai seperti buku Geology of Indonesia van Bemmelen (1949) – runtuhnya Majapahit terjadi pada tahun 1400 Caka atau 1478 M sesuai dengan catatan sejarah Jawa. Jatuhnya Mojopahit Tahun 1400 Saka diperingati dengan sengkalan berbunyi “Sirna Ilang Krtaning Bhumi” atau 0041 (1400) dalam Serat Kanda. Apa arti kalimat ini ? Kita tak akan kesulitan mengartikan sirna, ilang, kerta dan bhumi; setidak-tidaknya kita bisa mengintepretasi artinya sirna, hilang, kerta dan bumi. Yang menarik adalah “kerta”. Pengecekan dari buku kamus Kawi-Indonesia susunan Wojowasito (1980) adalah sbb. : “krta” /kerta berasal dari bahasa Sanskerta, yang punya beberapa arti :

1) sudah dikerjakan, sudah dilakukan selesai, habis, baik, aman dan tentram, jasa.

2) dadu dengan empat buah mata.

“Ilang” : hilang binasa. “Ni/ning” : partikel genitif. “Bhumi” : bumi, tanah , kekuasaan. Menurut kamus linguistik Harimurti-Kridalaksana (2001) : partikel = kata yang biasanya tidak dapat diderivikasikan atau diinfleksikan, yang mengandung makna gramatikal dan tidak mengandung makna leksikal; sedangkan “genitive partitif” = penggunaan kasus genitif untuk menyatakan bagian dari keseluruhan makna kata yang bersangkutan. Kasus genitif adalah kasus yang menandai makna ‘milik’ pada nomina atau yang sejenisnya. Berdasarkan kamus Kawi-Indonesia susunan Purwadi (2003), “kerta” = hasil, kemakmuran; kerta wadana : aman, sejahtera.

Maka, terbuka bagi siapapun untuk menafsirkan sesuai bidang ilmunya “sirna ilang krtaning bhumi” sebagai :

(1) “sirna hilang sudah selesai pekerjaan bumi”

(2) “telah surut gema kebesaran suatu kekuasaan atau

(3) “sirna hilang kemakmuran bumi/di bumi”.

Makna yang banyak ditemukan adalah makna kedua. Makna kesatu pengalimatannya tak semulus pengalimatan makna kedua. Tetapi, kalau berkenaan dengan suatu bencana, maka makna kesatu lebih tepat sebab “sirna hilang akibat pekerjaan bumi”. Apa pekerjaan bumi ? Ya bisa bencana sedimentasi, erupsi gunungapi, gempa, atau erupsi gununglumpur.

Kita mungkin akan sepakat memilih makna kedua sebab lebih gampang menerimanya, dengan adanya bencana-bencana tersebut Majapahit hilang gemanya , kemakmuran di bumi memang hilang, gejolak perang saudara dan perebutan serta pergolakan di Mojopahit terjadi . Tetapi, penjelasan yang mudah belum tentu yang benar, dan penjelasan yang susah belum tentu yang salah.

Ada satu lagi peristiwa berikutnya setelah “sirna ilang krtaning bhumi”, yang kalah popular dari sengkalan peristiwa diatas, tetapi tercatat di suatu kejadian kerajaan Majapahit yang ditemukan belakangan. Kejadian tersebut adalah suatu peristiwa “Guntur Pawatugunung”.

Peristiwa apa itu dan kapan terjadinya ? Ricklefs (1999) – Ricklefs adalah ahli sejarah dari Australia yang banyak meneliti sejarah Indonesia, bukunya “Sejarah Indonesia Moderen 1200-2004″ sudah diterjemahkan oleh Serambi (2005), edisi pertamanya oleh UGM – berdasarkan tulisan-tulisan ahli sejarah Belanda C.C. Berg, menyatakan bahwa peristiwa “Guntur Pawatugunung” terjadi pada tahun 1403 Saka (1481 M).

Apa makna “guntur pawatugunung” ? Banyak yang mengintepretasikan, itu adalah peristiwa yang mungkin sekali berkaitan dengan bencana letusan gunungapi (C.C. Berg dalam Ricklefs, 1999) yang terjadi pada masa kemunduran Majapahit. C.C Berg lebih lanjut menafsirkan bahwa Guntur Pawatugunung I merupakan tanda alam tentang (akan) munculnya suatu kerajaan baru di Jawa sebagai pengganti Majapahit (Kesultanan Demak). Berg meyakini bahwa sejarah- sejarah penting di Indonesia banyak ditandai dengan peristiwa-peristiwa alam.

Sekarang kita lihat tahun-tahun “sirna ilang krtaning bhumi” (1400 Caka) dan “guntur pawatugunung” (1403 Caka), sangat berdekatan – hanya beda 3 tahun. Tentu Suatu intepretasi lain bisa saja terjadi dengan peristiwa tersebut diatas, dimana Kerajaan Mojopahit yang tadinya sebagai kerajaan besar dan tersohor gemanya pada tahun- 1400 – 1405 M telah hilang gemanya dan kemudian terjadi gejolak intern dan ekstern dalam perebutan kekuasaan.

Artinya, bahwa “sirna ilang krtaning bhumi ” yang seperiode dengan “guntur pawatugunung”, maka dapat saja ditafsirkan bahwa Majapahit mundur dan habis oleh bencana semacam erupsi (bisa gunungapi, bisa gunung lumpur ala Lumpur Lapindo).

Namun bagi saya bahwa kalimat candrasangkala dua peristiwa “sirna ilang krtaning bhumi” dan “Guntur pawatugunung”, adalah merupakan suatu bahasa halus dari majapahit untuk mengungkapkan kejadian di Kerajaan yang datangnya sebagai dari Shyang Yang Widi , bahasa halus dalam pengungkapan adalah sebagai tanda ketundukan terhadap takdir.

Alasan politik memang kuat mengakhiri Majapahit, tetapi bencana geologi pun besar potensinya untuk mengakhiri Majapahit – ini berdasarkan kajian geologi di mana dulu Majapahit berlokasi, dan peninggalan-peninggalan dalam catatan sejarah.

Pentingnya faktor kebencanaan dalam akhir Majapahit beberapa kali pernah dikemukakan oleh Prof. Sampurno dari ITB. Presentasi Pak Sampurno di PIT IAGI 83 Yogya dijadikan berita di Kompas tanggal 2 Mei 1983, berjudul “Hancurnya Majapahit Bukan Akibat Munculnya Sistem Nilai Baru, tetapi Terlanda Bencana Alam” (oleh J. Purwanto). Dalam wawancara dengan wartawan Pikiran Rakyat pada acara purna bakti Pak Sampurno tahun 2004, Pak Sampurno menyatakan masih akan mengejar meneliti hal ini seusai pensiun nanti. Saya tak punya proceedings PIT IAGI 1983, dan tak punya artikel Kompas tahun 1983 untuk konfirmasi; tahu bahwa Pak Sampurno pernah mengemukakan hal itu dari buku Daldjoeni (1984) – geografi kesejarahan.

Awal tahun 1980-an katanya ITB pernah melakukan studi lapangan di sekitar situs Majapahit, yang akhirnya menuju ke hipotesis bahwa Majapahit telah runtuh oleh bencana alam. Barangkali bapak2 dosen ITB anggota milis ini bisa konfirmasi ke Pak Sampurno (Pak Yahdi Zaim, Pak Eddy Subroto, Pak Andri Subandrio, dan bapak/ibu dosen ITB lainnya?).

Sabtu, 08 Oktober 2011

Pendidikan Karakter

Mewujudkan Pendidikan Karakter

Oleh : Drs.Choirul Anam, M.Mpd

SMA Negeri 1 Bangsal Mojokerto

Pendahuluan

Kondisi karut marut bangsa Indonesia menjadi bahan renungan bagi semua elemen bangsa. Hal ini seperti dikatakan Arifin (2010) bahwa saat ini banyak orang yang sudah tidak menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diembannya secara amanah. Anggota DPR yang tidur saat sidang atau bahkan tidak pernah menghadiri sidang, sipir penjara yang berkolusi membebaskan narapidana, polisi yang tidak menjaga letusan senjatanya, jaksa yang menjual tuntutan demi meraih ratusan juta bahkan miliaran rupiah, hakim yang tidak menjalankan tugas undang-undang untuk menghadirkan saksi penting, dan banyak lagi contoh drama pengingkaran tanggung jawab yang dimainkan oleh pejabat publik di negeri ini dari tingkat atas sampai tingkat bawah.

Merujuk pemikiran di atas, apa yang salah ? kiranya Sekolah, Masyarakat, pemerintah atau semua komponen perlu untuk merenung kembali. Namun alhamdulillah kesadaran anak bangsa mulai tampak dengan banyaknya orang membicarakan masalah karakter. Dengan kondisi bangsa saat ini, masalah karakter bukan hanya sekadar fenomena yang didiskusikan, dikaji atapun diworkshopkan , tetapi harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaanya harus dimulai dari manakah dan kapan masalah karakter ini dimulai ?

Pendidikan karakter harus dimulai oleh setiap manusia yang ingin berubah sikap dan perilakunya dalam kehidupan sejak dini. Baik elemen pelajar, Mahasiswa, guru, dosen, pejabat, masyarakat dan pemerintah. Semua elemen tersebut harus memiliki sifat dasar dan karakter yang kuat sebagai pengemban amanat.

Kiranya tidaklah salah jika sekolah adalah tempat yang menjadi sorotan , dan gurupun menyadari tentang hal ini serta banyak upaya telah dilakukan oleh guru sebagai ujung tombak untuk mewujudkan generasi unggul dan mandiri yang cerdas dan berkarakter kuat. Namun demikian, semua usaha yang dilakukan tersebut masih belum menunjukkan titik terang dan hasil yang nyata, lalu apanya dan dimana kesalahannya !

Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini akan memberikan sumbangan pemikiran mengenai pembentukan karakter melalui lembaga sekolah. Semoga pemikiran ini dapat menjadi pelengkap bagi aneka pemikiran para pemikir bangsa tercinta.

Hakikat Pendidikan Karakter

Semua orang membicarakan pendidikan karakter. Bahkan tema utama yang diangkat dalam rangka memperingati Hardiknas adalah “Pendidikan karakter dalam rangka membangun peradaban bangsa” dan Hari Sumpah Pemuda “Membangun Karakter Pemuda Demi Bangsa”. Selain itu, di berbagai tempat dan papan poster terpampang pendidikan karakter. Apa sebenarnya pendidikan karakter?

Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat menjadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturasi dan sosialisasi) (Adnan, 2010).

Dalam Dunia Pendidikan ataupun Sekolah dijelaskan bahwa seorang anak dalam menempuh pendidikan harus mendapatkan sesuatu yang menyentuh 3 dimensi dasar kemanusiaan:

(1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketaqwaan, akhlak mulia, nilai luhur

(2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali danmengembangkan , dan

(3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.

Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa Yogyakarta yang memberikan teladan dengan ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani (didepan memberi contoh, di tengah ikut berkarya, dan di belakang turut mendukung). Selain itu tokoh pendidikan tersebut pernah mengatakan pesan bahwa, “Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan, keberadaban, budaya, dan persatuan.” Pesan tersebut disampaikan di Taman Siswa Yogyakarta.

Dukungan pendapat tersebut disampaikan oleh Prof. Wuryadi (Adnan, 2010), bahwa manusia pada dasarnya baik secara individu dan kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. DASAR, dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan AJAR adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan atau perubahan yang direncanakan atau diprogram selama hidupnya.

Pemikiran-pemikiran mengenai pendidikan karakter tersebut tercantum jelas pada UU Sisdiknas pasal 3, bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam rangka mewujudkan pendidikan karakter pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengimplementasikan di sekolah. Namun demikian, kita harus merujuk pendapat Stiles (1998) bahwa “Pembangunan karakter tidak dapat dilakukan dengan serta merta tanpa upaya sistematis dan terprogram sejak dini” (Furqon, 2010).

Mampukah Guru Dalam Mengemban Pendidikan Karakter !

Guru menjadi kata kunci untuk mewujudkan pendidikan karakter. Guru sebagai orang yang dipercaya dan diteladani oleh murid harus memberikan contoh karakter yang kuat. Hal ini akan menjadi dasar yang kuat bagai seorang guru untuk membentuk karakter siswanya. Dengan demikaan, akan terwujud filosofi guru digugu (dipercaya) dan ditiru (diteladani). Akan tetapi apabila perilaku guru tidak dapat menjadi teladan bagi siswanya tetapi justru menjadi “tontonan”siswa ... Lalu salah siapa?

Dari pandangan ini rasanya seolah-olah guru adalah seorang malaikat yang sangat suci, tapi pertanyaan yang muncul …. Apakah semua guru di sekolah telah memiliki karakter dan telah membawa karakter dalam kehidupannya ?

Seorang guru memang mempunyai amanat mengajar dan mendidik. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan yang disampaikan Santoso (1981:33, Hidayatullah, 2010:18) bahwa tujuan setiap pendidikan yang murni adalah menyusun harga diri yang kukuh-kuat dalam jiwa pelajar, supaya mereka kelak dapat bertahan dalam masyarakat. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa pendidikan bertugas mengembangkan potensi individu semaksimal mungkin dalam batas-batas kemampuannya, sehingga terbentuk manusia yang pandai, terampil, jujur, tahu kemampuan, dan batas kemampuannya. Merujuk pemikiran di atas, berarti pembentukan karakter dan watak menjadi salah satu tanggung jawab dan tugas seorang guru dalam mendidik peserta didiknya.

Mendukung pendapat di atas, Hidayatullah (2010:18) berpendapat bahwa guru yang memiliki makna “digugu dan ditiru” (dipercaya dan dicontoh) secara tidak langsung juga memberikan pendidikan karakter kepada peserta didiknya. Oleh karena itu, profil dan penampilan guru seharusnya memiliki sifat-sifat yang dapat membawa peserta didiknya ke arah pembentukan karakter yang kuat. Oleh karena itu, seorang guru harus menjadi teladan bukan sekadar memberi teladan dan menjadi contoh bukan sekadar memberi contoh.

Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter

Dalam rangka pembentukan karakter guru ini, seorang dekan FKIP UNS, Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd. telah menulis buku: (1) Guru Sejati: Membangun Insan Berkarkater Kuat dan Cerdas’ dan (2) Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa yang diterbitkan Penerbit Yuma Pustaka Surakarta. Dengan membaca kedua buku tersebut diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi guru untuk menjadi guru yang berkarakter kuat dan cerdas. Dengan demikian akan lahir guru-guru kreatif, inovatif, cerdas, dan berkarakter kuat.

Merujuk pada pemikiran dan kedua buku Prof. Dr. Furqon (2009 dan 2010) guru akan termotivasi untuk selalu menjadi inspirator bagi siswanya. Guru harus menjadi pionir teladan bagi siswa di Sekolah. Akan tetapi, seorang guru memiliki tanggung jawab untuk menjadi pionir teladan bagi siswa serta teladan bagi masyarakat dalam melaksanakan kehidupan diluar sekolah. Dengan demikian, peran guru di sekolah dan di masyarakat harus memiliki citra inspiratif dan berkarkater dan selalu berkesinambungan.

Hidayatullah (2010:18) berpendapat bahwa keluaran institusi pendidikan seharusnya dapat menghasilkan orang “pandai” tetapi juga orang “baik” dalam arti luas. Pendidikan tidak hanya menghasilkan orang “pandai” tetapi “tidak baik”, sebaiknya juga pendidikan tidak hanya menghasilkan orang “baik” tetapi “tidak pandai”. Pendidikan tidak cukup hanya untuk membuat anak pandai, tetapi juga harus mampu menciptakan nilai-nilai luhur atau karakter.

Mengacu pada pemikiran di atas, seorang guru harus refleksi diri akan kinerja selama ini. Seorang guru harus selalu berkarya dan mengimplementasikannya kepada siswa melalui pembelajaran, kepada masyarakat melalui penelitian dan pengabdian. Hal dapat didasarkan pada prinsip bahwa kuatnya arus pembelajaran berarti kuatnya karakter guru, kuatnya karakter guru berarti kuatnya pendidikan kita, dan kuatnya pendidikan kita berarti kuatnya bangsa Indonesia. Dengan demikian, tidak boleh ada rantai terputus antara guru dalam pembentukan karakter generasi muda di masa yang akan datang.

Pemikiran Hidayatullah (2010:19) bahwa menghasikan tipe orang yang “pandai” saja tetapi “tidak baik” akan menghasilkan orang yang “berbahaya” karena dengan kepandaiannya bisa menjadikan sesuatu menyebabkan kerusakan dan kehancuran. Setidak-tidaknya pendidikan masih lebih bagus menghasilkan orang-orang “baik” walaupun kurang “pandai.” Tipe ini paling tidak akan memberikan suasana kondusif karena ia memiliki aklhak yang baik.

Upaya untuk mewujudkan pemikiran tersebut bisa terjadi dilakukan di sekolah karena para siswa dibekali dan dipersiapkan sebagai generasi penerus yang berakhlak mulia dan mandiri. Oleh karena itu, pemikiran tersebut didukung oleh Ary Ginanjar (dalam Hidayatullah, 2009:v), bahwa saya semakin merasakan betapa pentingnya pendidikan karakter setelah mempelajari ilmu dan semangat samurai. Para samurai memilki dua hal, yaitu Wasa dan Do. Wasa artinya skill sedangkan Do artinya The way of life (prinsip hidup) yang dikenal Bushido. Pemikiran-pemikiran tersebut dapat direalisasikan apabila guru membelajarkan siswa dengan kreativitas berimbang antara hardskill dan softskill, dan landasan karakter yang kuat. Dengan demikian, akan dihasilkan para siswa yang berkarakter kuat dan cerdas sebagai calon generasi bangsa.

Bercermin dan Refleksi Guru

Sejak diberlakukannya tunjangan profesional bagi guru ternyata muncul banyak masalah di lapangan, baik pembelajaran dan karakter guru. Tidak semua guru yang telah mendapat sertifikat pendidik dijamin memiliki karakter kuat dan cerdas. Selain itu, belum tentu semua profesional dalam menjalankan tugas dan kewajiban. Dengan pernyataan ini bukan berarti penulis merasa sudah profesional. Akan tetapi justru harus dipikirkan secara bersama-sama bagaimana upaya untuk merefleksi dan memperbaikinya.

Kesadaran menjadi guru profesional berkarakter yang menjadi contoh dan teladan harus dimiliki oleh guru tanpa terkecuali. Untuk mewujudkan hal tersebut harus dilakukan secara bersama-sama antara lembaga pendidikan, pemerintah, stakeholder pendidikan, dan semua elemen bangsa sebagai pilar-pilar makro. Dengan duduk bersama para pemangku kepentingan pendidikan memikirkan kepentingan bangsa dan generasi penerus secara komit maka akan terwujud pendidikan karakter bangsa.

Pemikiran tersebut selaras dengan pendapat Walantaqi (2010:116) bahwa untuk tercapainya proses pendidikan yang baik diperlukan enam modal dasar, yaitu :

(1) adanya kecerdasan (dzuka-in),

(2) motivasi yang jelas arah dan sasaran yang tepat (birshin),

(3) ketekunan dan usaha (isbtibar),

(4) partisipasi dan pembiayaan (bulghat),

(5) tenaga edukatif yang berkualitas (irsyadi ustadzin),

(6) Long life learning (thuliz zamanain).

Merujuk pendapat tersebut berarti peran guru memilki andil penting sebagai salah satu modal dasar untuk mewujudkan pendidikan yang berhasil dan berkarakter.

Namun demikian, peran guru yang sangat besar dalam mewujudkan pendidikan karakter, dan guru harus memiliki karakter kuat dan cerdas terlebih dahulu baru membentuk karakter pelajar dan siswanya. Sangatlah tidak adil, karena cermin mikro dan makro yang serba carut marut memberikan andil perubahan jiwa pathernalistik guru dalam mengemban amanat ! Untuk itu, kiranya kita refleksi diri bersama-sama, kemudian baru niatkan dalam hati mulai detik ini untuk mengubah diri sebagai wujud Istigfar , kemudian melanjutkan amanah dengan berpartisipasi dalam mewujudkan pendidikan karakter.

Penutup

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter menjadi sangat penting untuk diwujudkan. Hal ini mengingat bagsa Indonesia saat ini telah mengalami keterpurukan dan carut-marut dalam bidang moralitas dan akhlak.

Institusi pendidikan yang telah menghasilkan para guru-guru profesional, insan-insan cendekia yang cerdas dan unggul dewasa ini adalah sebagai asset bangsa yang tidak diragukan lagi , akan tetapi hasil tersebut kiranya belum cukup karena pendidikan selama ini menunjukkan perkembangan karakter dan implementasi di lapangan masih jauh dari yang diharapkan. Oleh karena itu, menjadi bahan renungan dan pemikiran bersama upaya pembentukan karakter bangsa.

Untuk mewujudkaan pendidikan karakter dalam rangka membangun peradaban bangsa tersebut baik secara makro dan mikro harus dilakukan secara simultan. Artinya pengembangan Pilar karakter guru akan mengikuti secara pathernalistik , baru kemudian diikuti terbentuknya pelajar yang cerdas dan berkarakter kuat, kemudian mengimplementasi kepada seluruh masyarakat dan elemen bangsa. Apabila pola tersebut dapat diwujudkan maka tinggal melengkapi dengan perangkat-perangkat yang mendukung terealisasinya pendidikan karakter di Indonesia.

Daftar Pustaka

Adnan, Zainal Arifin. 2010. “Pembangunan Karakter dalam Perspektif Agama”. Makalah Seminar Internasional, 10 November 2010 di FKIP UNS.

Alantaqi, Wajihudin. 2010. Rahasia Menjadi guru Teladan Penuh Empati. Yogyajakarta: Gara Ilmu.

Agustian, Ary Ginanjar. 2009. Bangkit dengan Tujuh Budi Utama. Jakarta: PT Arga Publishing.

Fakhrudin, Asef Umar. 2009. Menjadi Guru Favorit. Yogyakarta: Diva Press.

Hidayatullah, M. Furqon. 2010. “Revitalisasi Nilai-nilai Kepahlawanan dalam Membentuk Karakter Bangsa”. Makalah Seminar Internasional, 10 November 2010 di FKIP UNS.

Hidayatullah, M. Furqon. 2009. Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas. Surakarta: Yuma Pustaka.

Hidayatullah, M. Furqon. 2010. Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta: Yuma Pustaka.