Selasa, 15 November 2011

Memudarnya Mojopahit

Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung

(Bahasa Halus Memudarnya dan Gejolak Kekuasaan Mojopahit )

Suryasengkala “Sirna Ilang Krtaning Bhumi” alias angka tahun 1400 Caka (1478 Masehi) menjadi terbuka untuk ditafsir ulang. Tahun 1400 Caka dipakai oleh beberapa ahli sejarah sebagai akhir Majapahit berdasarkan dua babad sejarah terkenal “Serat Kanda” dan “Babad Tanah Jawi” dan catatan2 perjalanan bangsa-bangsa asing yang pernah mampir ke Jawa pada saat itu. Memang, masih ada raja-raja Majapahit terakhir setelah 1478 M, seperti raja Girindrawardhana (1478-1498 M) dan Brawijaya VIII (1498-1518 M), sebelum Majapahit benar-benar bubar pada tahun 1518 M. Tetapi, dari tahun 1478 M sampai 1518 M, Majapahit adalah kerajaan bawahan Demak yang saat itu lebih kuat. Tahun 1518 M kekuasaan di Jawa sudah didominasi penguasa Islam seperti Raden Patah dan adipati Unus.

Manurut buku de Graaf (1949) – Geschiedenis van Indonesie (Sejarah Indonesia) – buku ini senilai seperti buku Geology of Indonesia van Bemmelen (1949) – runtuhnya Majapahit terjadi pada tahun 1400 Caka atau 1478 M sesuai dengan catatan sejarah Jawa. Jatuhnya Mojopahit Tahun 1400 Saka diperingati dengan sengkalan berbunyi “Sirna Ilang Krtaning Bhumi” atau 0041 (1400) dalam Serat Kanda. Apa arti kalimat ini ? Kita tak akan kesulitan mengartikan sirna, ilang, kerta dan bhumi; setidak-tidaknya kita bisa mengintepretasi artinya sirna, hilang, kerta dan bumi. Yang menarik adalah “kerta”. Pengecekan dari buku kamus Kawi-Indonesia susunan Wojowasito (1980) adalah sbb. : “krta” /kerta berasal dari bahasa Sanskerta, yang punya beberapa arti :

1) sudah dikerjakan, sudah dilakukan selesai, habis, baik, aman dan tentram, jasa.

2) dadu dengan empat buah mata.

“Ilang” : hilang binasa. “Ni/ning” : partikel genitif. “Bhumi” : bumi, tanah , kekuasaan. Menurut kamus linguistik Harimurti-Kridalaksana (2001) : partikel = kata yang biasanya tidak dapat diderivikasikan atau diinfleksikan, yang mengandung makna gramatikal dan tidak mengandung makna leksikal; sedangkan “genitive partitif” = penggunaan kasus genitif untuk menyatakan bagian dari keseluruhan makna kata yang bersangkutan. Kasus genitif adalah kasus yang menandai makna ‘milik’ pada nomina atau yang sejenisnya. Berdasarkan kamus Kawi-Indonesia susunan Purwadi (2003), “kerta” = hasil, kemakmuran; kerta wadana : aman, sejahtera.

Maka, terbuka bagi siapapun untuk menafsirkan sesuai bidang ilmunya “sirna ilang krtaning bhumi” sebagai :

(1) “sirna hilang sudah selesai pekerjaan bumi”

(2) “telah surut gema kebesaran suatu kekuasaan atau

(3) “sirna hilang kemakmuran bumi/di bumi”.

Makna yang banyak ditemukan adalah makna kedua. Makna kesatu pengalimatannya tak semulus pengalimatan makna kedua. Tetapi, kalau berkenaan dengan suatu bencana, maka makna kesatu lebih tepat sebab “sirna hilang akibat pekerjaan bumi”. Apa pekerjaan bumi ? Ya bisa bencana sedimentasi, erupsi gunungapi, gempa, atau erupsi gununglumpur.

Kita mungkin akan sepakat memilih makna kedua sebab lebih gampang menerimanya, dengan adanya bencana-bencana tersebut Majapahit hilang gemanya , kemakmuran di bumi memang hilang, gejolak perang saudara dan perebutan serta pergolakan di Mojopahit terjadi . Tetapi, penjelasan yang mudah belum tentu yang benar, dan penjelasan yang susah belum tentu yang salah.

Ada satu lagi peristiwa berikutnya setelah “sirna ilang krtaning bhumi”, yang kalah popular dari sengkalan peristiwa diatas, tetapi tercatat di suatu kejadian kerajaan Majapahit yang ditemukan belakangan. Kejadian tersebut adalah suatu peristiwa “Guntur Pawatugunung”.

Peristiwa apa itu dan kapan terjadinya ? Ricklefs (1999) – Ricklefs adalah ahli sejarah dari Australia yang banyak meneliti sejarah Indonesia, bukunya “Sejarah Indonesia Moderen 1200-2004″ sudah diterjemahkan oleh Serambi (2005), edisi pertamanya oleh UGM – berdasarkan tulisan-tulisan ahli sejarah Belanda C.C. Berg, menyatakan bahwa peristiwa “Guntur Pawatugunung” terjadi pada tahun 1403 Saka (1481 M).

Apa makna “guntur pawatugunung” ? Banyak yang mengintepretasikan, itu adalah peristiwa yang mungkin sekali berkaitan dengan bencana letusan gunungapi (C.C. Berg dalam Ricklefs, 1999) yang terjadi pada masa kemunduran Majapahit. C.C Berg lebih lanjut menafsirkan bahwa Guntur Pawatugunung I merupakan tanda alam tentang (akan) munculnya suatu kerajaan baru di Jawa sebagai pengganti Majapahit (Kesultanan Demak). Berg meyakini bahwa sejarah- sejarah penting di Indonesia banyak ditandai dengan peristiwa-peristiwa alam.

Sekarang kita lihat tahun-tahun “sirna ilang krtaning bhumi” (1400 Caka) dan “guntur pawatugunung” (1403 Caka), sangat berdekatan – hanya beda 3 tahun. Tentu Suatu intepretasi lain bisa saja terjadi dengan peristiwa tersebut diatas, dimana Kerajaan Mojopahit yang tadinya sebagai kerajaan besar dan tersohor gemanya pada tahun- 1400 – 1405 M telah hilang gemanya dan kemudian terjadi gejolak intern dan ekstern dalam perebutan kekuasaan.

Artinya, bahwa “sirna ilang krtaning bhumi ” yang seperiode dengan “guntur pawatugunung”, maka dapat saja ditafsirkan bahwa Majapahit mundur dan habis oleh bencana semacam erupsi (bisa gunungapi, bisa gunung lumpur ala Lumpur Lapindo).

Namun bagi saya bahwa kalimat candrasangkala dua peristiwa “sirna ilang krtaning bhumi” dan “Guntur pawatugunung”, adalah merupakan suatu bahasa halus dari majapahit untuk mengungkapkan kejadian di Kerajaan yang datangnya sebagai dari Shyang Yang Widi , bahasa halus dalam pengungkapan adalah sebagai tanda ketundukan terhadap takdir.

Alasan politik memang kuat mengakhiri Majapahit, tetapi bencana geologi pun besar potensinya untuk mengakhiri Majapahit – ini berdasarkan kajian geologi di mana dulu Majapahit berlokasi, dan peninggalan-peninggalan dalam catatan sejarah.

Pentingnya faktor kebencanaan dalam akhir Majapahit beberapa kali pernah dikemukakan oleh Prof. Sampurno dari ITB. Presentasi Pak Sampurno di PIT IAGI 83 Yogya dijadikan berita di Kompas tanggal 2 Mei 1983, berjudul “Hancurnya Majapahit Bukan Akibat Munculnya Sistem Nilai Baru, tetapi Terlanda Bencana Alam” (oleh J. Purwanto). Dalam wawancara dengan wartawan Pikiran Rakyat pada acara purna bakti Pak Sampurno tahun 2004, Pak Sampurno menyatakan masih akan mengejar meneliti hal ini seusai pensiun nanti. Saya tak punya proceedings PIT IAGI 1983, dan tak punya artikel Kompas tahun 1983 untuk konfirmasi; tahu bahwa Pak Sampurno pernah mengemukakan hal itu dari buku Daldjoeni (1984) – geografi kesejarahan.

Awal tahun 1980-an katanya ITB pernah melakukan studi lapangan di sekitar situs Majapahit, yang akhirnya menuju ke hipotesis bahwa Majapahit telah runtuh oleh bencana alam. Barangkali bapak2 dosen ITB anggota milis ini bisa konfirmasi ke Pak Sampurno (Pak Yahdi Zaim, Pak Eddy Subroto, Pak Andri Subandrio, dan bapak/ibu dosen ITB lainnya?).