Kamis, 03 Juni 2010

MENGUAK HAKEKAT DAN ARTI SERTA HISTORIOGRAFI SEJARAH

Waktu (time) merupakan salah satu konsep dasar sejarah selain ruang (space), kegiatan manusia (human activity). Perubahan (change) dan kesinambungan (continuity). Ia merupakan unsur penting dari sejarah yaitu kejadian masa lalu. Dengan kata lain waktu merupakan konstruksi gagasan yang digunakan untuk memberi makna dalam kehidupan di dunia. Manusia tak dapat dilepaskan dari waktu karena perjalanan hidup manusia sama dengan perjalanan waktu itu sendiri.

Seperti angin yang mengalir tanpa henti diatas bukit, lembah, dan lautan, sejarah terus-menerus bergerak dalam waktu. Kebudayaan-kebudayaan hidup dan mati, pemikiran-pemikiran muncul, kota-kota tumbuh, penduduk bertambah, kerajaan-kerajaan timbul dan tenggelam, perang-perang terjadi, perdagangan meluas, dan seterusnya….

Tiap masyarakat memilki pandangan yang relatif berbeda tentang waktu yang mereka jalani. Contoh : Masyarakat Barat melihat waktu sebagai sebuah garis lurus (linier). Konsep garis lurus tentang waktu diikuti dengan terbentuknya konsep tentang urutan kejadian. Dengan kata lain sejarah manusia dilihat sebagai sebuah proses perjalanan dalam sebuah garis waktu sejak zaman dulu, zaman sekarang dan zaman yang akan datang. Berbeda dengan masyarakat Barat, masyarakat Hindu melihat waktu sebagai sebuah siklus yang berulang tanpa akhir.

Sejarah merupakan sebuah proses perjalanan waktu yang sangat luas dan panjang areanya, dalam rentang waktu itulah sejarah melewati ratusan bahkan ribuan tahun dengan melibatkan perubahan dalam kehidupan manusia yang sangat banyak . mengkaji semua peristiwa sejarah yang luas dan panjang secara rinci sangatlah susah, untuk itulah maka digunakan pemisahan yang biasanya didasarkan pada momentum tertentu.

Sejarawan ingin membuat waktu yang terus-menerus bergerak tanpa henti itu menjadi dapat dipahami (intelligible) dengan membagi-baginya dalam unit-unit waktu, dalam sekat-sekat babak, dalam periode-periode. Suatu momentum yang dapat memberikan petunjuk adanya karakteristik dari suatu kurun waktu yang satu berbeda dengan kurun waktu lainnya . hal itulah yang dinamakan dengan periodisasi sejarah.

Jadi pada hakekatnya sejarah adalah suatu rangkaian peristiwa dalam suatu rentang masa yang kontinu yang melibatkan perubahan dalam kehidupan manusia, sementara periodisasi sejarah adalah produk penulisan sejarah dalam rangka memahami rangkaian peristiwa tersebut yang di dasarkan pada momentum perubahan sebagai “tanda” pemisahan waktu.

Kata kunci dari periodisasi adalah momentum perubahan sebagai “tanda” pemisah waktu (karena sebenarnya waktu itu kontinu/berkesinambungan).

Jelas sudah bahwa periodisasi adalah konsep sejarawan semata-mata, suatu produk mental dan hanya ada dalam pikiran sejarawan, suatu ideal type.

Demikianlah, periodisasi umumnya akan membagi sejarah menjadi tiga periode, yaitu Ancient, Middle, dan Modern.. Sebagai contoh, Periodisasi/pembabakan waktu sejarah Indonesia menurut Dr. Kuntowijoyo dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Sejarah, dibagi menjadi 4 periode, yaitu:

1. zaman prasejarah,

2. zaman kuno (Ancient),

3. zaman Islam (Middle), dan

4. zaman modern (Modern).

Babak atau periodisasi sejarah Indonesia juga bisa ada yang lebih terperinci. Ada pula yang mengelompokan periodisasi sejarah Indonesia menjadi beberapa jaman yaitu :

- prasejarah (jaman batau dan jaman logam )
- masuk dan berkembangnya pengaruh budaya India
- masuk berkembangnya islam
- jaman kolonial
- jaman pendudukan jepang
- revolusi kemerdekaan
- masa orde lama
- masa orde baru
- masa reformas

Periodisasi adalah masalah “pentafsiran” terhadap sejarah sebagai rangkaian peristiwa perubahan dan perkembangan dari kehidupan manusia yang kompleks. Sudut pandang terhadap peristiwa-peristiwa itu mempengaruhi “penjudulan” atau pengistilahan zaman/masa/periode.

Kembali ke output dan tujuan periodesasi dari mempelajari sejarah yaitu agar peristiwa masa lalu itu mudah dimengerti dan dipahami, maka dengan demikian sifat periodiasi itu tidaklah mutlak karena yang mutlak atau yang tetap adalah peristiwa yang telah terjadi atau sejarah-nya sementara periodisasi adalah produk sejarawan yang memilah waktu. Sehingga Pembagian masa atau zaman bisa saja dikoreksi.

Sebagai contoh, Apa yang dimaksud dengan Masa Kolonial Belanda? Dari kapan sampai kapan Masa Kolonial itu terjadi?, ketika ada koreksi terhadap rentang masa kolonial maka otomatis ada koreksi terhadap periodiasi yang telah dibuat sebelumnya supaya tidak ada “waktu yang hilang” atau waktu yang di “hidden” disembunyikan dari sejarah. Bila periodisasi yang dibuat malah jadi tidak dimengerti dan dipahami dari nilai dan esensi suatu peristiwa sejarah… bolehkah kita buat periodisasi baru dalam penulisan baru tentang sejarah?

Arti Sejarah adalah ilmu mengenai peristiwa perkembangan manusia yang unik, penting dan abadi yang terjadi pada waktu ( dahulu : dulu, kemarin dan tadi ) dan tempat tertentu. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sejarah dapat dibedakan menjadi dua arti antara sejarah dalam arti objektif dan sejarah dalam arti subjektif.

1. Sejarah dalam arti objektif, adalah kejadian atau peristiwa yang sebenarnya (History of Actually).

2. Sejarah dalam arti subjektif (History of Record) adalah pengkisahannya, dalam pengkisahannya harus menggunakan secara benar sumber-sumber bukti peninggalan peristiwa itu terjadi yang bersifat akurat dan kredibel, baik berupa benda-benda (artifact) maupun dokumen-dokumen tertulis. Bahan-bahan ini menjadi sumber sejarah. Hanya dengan mencari sumber-sumber informasi inilah, kegiatan mencari sumber sejarah dalam ilmu sejarah disebut heuristik, sejarawan dapat membuat rekontruksi peristiwa masa lampau dan menulis uraian sejarah sering disebut juga History as written atau Historiografi

Menulis sejarah dalam bentuk historigrafi bukan perkara mudah, karena impian agar sejarawan atau seseorang bisa menghadirkan masa lalu wie es eigentlich gewesen ist (sebagaimana sesungguhnya terjadi) dewasa ini semakin jelas tidak mungkin terwujud. Seandainya ada mesin waktu yang bisa melontarkan kita ke masa lalu pun, sejarah tetap akan dilihat dari perspektif tertentu, dan tidak dapat dihadirkan kembali sepenuhnya. Sejarah, seperti kita tahu adalah representasi dari masa lalu dan bukan masa lalu itu sendiri. Sejarah selalu diceritakan, disusun kembali, berdasarkan informasi yang bisa diperoleh mengenai masa lalu, dan karena itu akan selalu kurang, tidak lengkap dan memerlukan perbaikan. Karena itu sejarawan umumnya mengatakan bahwa sejarah itu terbuka bagi interpretasi yang berbeda, dan selalu bisa ditulis ulang

Tapi ini tidak berarti bahwa kita bebas menafsirkan dan menulis sejarah. Ada prinsip dasar yang membatasi kebebasan tafsir : yaitu pada pijakan pada fakta atau kenyataan yang diketahui berdasarkan sumber sejarah atau informasi yang tersedia dan dapat diuji. Kita tidak dapat menyandarkan penulisan sejarah pada desas-desus dan dugaan semata-mata. Kita juga harus menyadari juga bahwa setiap upaya mengungkap misteri suatu peristiwa sejarah hampir selalu mengundang kontroversi. Sebab, misteri sejarah itu sendiri meninggalkan sikap ambivalen. Di satu sisi ada hasrat yang menggebu untuk ingin tahu, tetapi di sisi lain ada keraguan apakah hasrat ingin tahu itu bisa terpuaskan.

Keraguan itu sendiri bersumber dari kondisi bahwa suatu peristiwa, episode, peristiwa atau tokoh sejarah banyak diselimuti misteri karena jejak-jejak historis yang ditinggalkannya – apapun bentuknya – sangat tidak mencukupi sebagai bahan rekonstruksi masa lalu. Itulah sebabnya orang cenderung menerima narasi sejarah atau cerita sejarah yang telah menjadi semacam “kesepakatan umum”, namun tetap tak mampu membunuh keinginan manusia dari hasrat ingin tahu itu. Tidaklah mengherankan, dimasa depan akan terus munculnya setiap upaya mengungkap misteri sejarah dengan menyodorkan “fakta-fakta baru” hampir selalu mengundang antusiasme publik. Tetapi, hal ini tidak dengan sendirinya membuat “fakta-fakta baru” itu diterima sebagai “kebenaran baru”. Di sinilah letak kontroversi itu.

Sebenarnya, kontroversi itu bisa diminimalisir, jika tidak bisa dihindari sama sekali, apabila sejarawan atau siapapun yang menyodorkan “fakta-fakta baru” itu tidak berpretensi mengungkap misteri sejarah itu secara keseluruhan. Dibutuhkan suatu kerendahan hati bahwa “fakta-fakta baru” itu hanya mengungkap sebagian misteri. Itupun harus dibarengi dengan kesediaan bahwa “fakta-fakta baru” itu siap diuji oleh siapapun. Agar “fakta-fakta baru” itu tahan uji, si sejarawan atau seseorang itu sendiri harus bersedia terlebih dahulu mengujinya sendiri setuntas mungkin. Di sini si sejarawan atau seseorang bukan hanya dituntut bekerja keras untuk mengumpulkan data di tengah kelangkaan sumber, tapi juga berpikir keras menguji data itu kalau perlu secara berulang-ulang sampai pada suatu titik jenuh.

Melihat prosedur normatif yang berliku semacam itu, maka sejarawan atau seseorang yang berpretensi mengungkap misteri sejarah, entah sebagian apalagi secara keseluruhan, sebenarnya termasuk “manusia ulet dan pemberani”. Ia ulet mengais data di tengah kelangkaan sumber. Ia berani menguji data yang terbatas itu sebelum mengangkatnya dan mengumumkannya sebagai “fakta-fakta baru”.

Sehingga bagi Sejarawan atau seseorang yang ingin menulis kembali Sejarah ( Historiografi ), yang paling pokok adalah bahwa ia berani bertarung melawan “keraguan publik”. Jika berhasil, karyanya akan dikenang sebagai “pembawa pencerahan”. Jika gagal, publik mungkin akan mencibirnya sebagai “pencari sensasi

Historiografi
Historiografi merupakan pandangan sejarawan terhadap peristiwa sejarah, yang dituangkan di dalam penulisannya itu akan dipengaruhi oleh situasi zaman dan lingkungan kebudayaan di mana sejarawan atau seseorang itu hidup serta kemampuan menginterpretasikan dengan menghubungkan ilmu-ilmu bantu lain. Dengan kata lain, pandangan sejarawan itu selalu mewakili zaman dan kebudayaannya. Historiografi dapat diartikan sebagai pencarian terhadap pemikiran sejarawan atau seseorang pada zamannya. Historiografi mencari tentang ide, subyektifitas, dan interprestasinya. Sebagai sebuah alat untuk melihat sejarah intelektual atau mentalis seorang sejarawan, maka haruslah dilakukan sebuah studi mengenai karya-karyanya.

Dalam sebuah penulisan sejarah sejarawan atau seseorang tidak diperbolehkan untuk mengkhayal hal-hal yang menurut akal tidak mungkin telah terjadi. Dalam sebuah penulisan sering harus mengkhayal hal-hal yang kiranya telah terjadi. Namun, sering terjadi mengkhayal hal-hal yang kiranya pasti telah terjadi. Sehingga dalam sebuah penulisan sejarah tidak mungkin untuk merumuskan mengenai aturan-aturan penggunaan imajinasi.

Sepanjang menyangkut ihwal tentang kajian kesejarahan, yang umumnya diketahui bahwa yang menjadi permasalahannya adalah mengenai metode tafsir seperti apa yang paling accountable dalam usaha untuk memahami konstruksi realiti di masa lampau. Para peminat sejarah, mulai dari kalangan awam sampai ilmuwan dan filosof sekalipun, tampaknya hingga saat ini belum mencapai kata sepakat berkaitan dengan hal tersebut. Bahkan, tak jarang di antaranya memiliki pandangan khas masing-masing yang didukung alasan yang saling bertolak belakang.

Kesulitan metodik semacam itu jelas mustahil di atasi, mengingat upaya penafsiran, sebagaimana diakui para ilmuwan sejarah seperti Arnold J. Toynbee, tak mungkin sterile dari nilai-nilai subjektiviti masing-masing penafsir. Sehingga secara normatif boleh dikatakan bahawa nilai subjektiviti tersebut merupakan saudara kembar metode tafsir dalam bentuk apapun.

Namun, terlepas dari keriuhan dan kerumitan perdebatan metodik tersebut, tak boleh dinafikan bahwa apa yang diistilahkan dengan sejarah (yang diakui bahawa erti literalnya sampai sekarang sepenuhnya berasal dari bahasa Inggris “history”, yang berakar dari bahasa Yunani kuno, istoria, atau belajar dengan cara bertanya-tanya) bukanlah dimaksudkan sebagai upaya merekonstruksi secara material dan faktual segenap kenyataan yang pernah terjadi di masa lalu.

Ini harus disadari lantaran apa yang disebut dengan sejarah bukanlah sebuah upaya membangun atau menghidupkan kembali (reconstruct) sesuatu peristiwa atau teks masa lampau. Tapi, rekonstruksi peristiwa masa lalu itu memberi pencerahan masa sekarang dan pegangan dimasa yang akan datang ( tiga dimensi ), sehingga rekontruksi sejarah itu lebih sebagai proses penalaran tentangnya, yang secara aksiologi dimaksudkan agar seseorang memahami posisi dan arti dirinya dalam kerangka waktu tertentu ( History is make man wise )

Tapi, sebagai proses penalaran yang berorientasi menyingkap makna yang terselip di antara reruntuhan monumen bisu, jejak-jejak peristiwa, serta antologi tekstual. Di mana secara aksiologi, semua itu dianggap amat signifikan bagi seseorang yang ingin memahami posisi dirnya dalam kerangka waktu tertentu.

Berdasarkan paradigma semacam itu, bahwa tugas seorang sejarawan atau seseorang yang ingin tahu sejarah bukanlah “menghidupkan kembali” konstruksi kenyataan masa lalu – yang di akui mustahil untuk dilakukan – tapi lebih kepada memperoleh pemahaman berdasarkan nalar tentangnya, menjadi sulit menolak fakta bahwa tafsir kesejarahan senantiasa mengandung bobot subjektivitas pengamat.

Motif serta berjalannya sebuah proses penalaran pada dasarnya sudah mencerminkan adanya kepentingan serta subjektiviti itu sendiri. Jadi, tak satu pun karya dalam bidang sejarah yang sterile dari pandangan – bahkan prasangka – pribadi maupun primordial.

Fungsi Akademis dan Propaganda

Ibnu Khaldun, seorang sejarawan Arab menyatakan bahwa para penguasa selalu berusaha untuk menguasai tafsir sejarah. Sejarah selalu digunakan oleh para penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya. Bahkan kalau perlu ia melakukan manipulasi data seperti yang dilakukan Ken Arok ketika ia mendirikan Singasari dan membuat silsilah yang menerangkan bahwa ia adalah keturunan dari Raja-raja Mataram ( bisa dilihat dalam Pararaton ). Dengan demikian selama berabad-abad usia ilmu pengetahuan, ilmu sejarah hanya memotret sebuah peristiwa dan tokoh-tokoh besar dan mengabaikan peranan rakyat jelata sebagai pelaku sejarah. Hal ini pun direpresentasikan dalam istilah sejarah dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan dengan history (cerita-nya), bukan our story (cerita kita) atau their story (cerita mereka) dan bahkan her story (cerita-nya/perempuan).

Dalam konteks tersebut, sejarah memainkan peranannya sebagai sarana propaganda dan melupakan mission sacre-nya sebagai sebuah ilmu objektif yang mengungkapkan sebuah kebenaran, tetapi waktu itu lebih sebagai tulisan suci yang dilakukan raja-raja sebagai titisan dewa yang harus dijadikan sebagai suatu bentuk keajaiban Dewa ( Tuhan ) atau laku yang disakralkan walaupun terdapat suatu perbuatan gender, ketidakjujuran dan yang menyimpang dari norma-norma kemanusian.

Fungsi akademis dari sejarah yang berlandaskan pada objektivisme selama ini terabaikan ketika sejarah dibawa ke dalam ruang publik. Dalam ruang publik yang plural, setiap kelompok, terutama kelas penguasa selalu berusaha merebut tafsir sejarah yang sedang berlaku. Terbukanya ruang penafsiran yang begitu lebar dalam disiplin ilmu sejarah memberikan kesempatan yang luas bagi penguasa untuk menafsirkan, meromantisasi dan bahkan memanipulasi sejarah sesuai dengan kehendaknya. Akibatnya muncul dikemudian hari tafsiran-tafsiran sejarah dari suatu rezim tertentu.

Selama berabad-abad sampai dewasa ini, sejak ilmu sejarah menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri, karena telah mempunyai metode ilmiah tertentu berupa heuristik (pengumpulan data) - kritik atas data-interpretasi-historiografi, berbagai monopoli tafsir dan manipulasi sejarah telah berulangkali dilakukan oleh para penguasa dulu , setelah kemerdekaan, masa Orde Baru, hingga dewasa inipun masih terjadi, baik untuk melegitimasi kejayaan atau bahkan memaklumkan kekalahan dan kekeliruannya.

Kesimpulan.
Ilmu sejarah kiranya bukan bukan hanya milik ilmuwan dan intelektual serta bersemayam di istana raja-raja. Sebenarnya sebagai guru sebenarnya mana pantas untuk mentafisrkan sejarah. Namun perlu kiranya dimengerti bahwa ada hal yang menggembirakan dalam sudut pandang akademik dimana ;

- menjadi sulit menolak fakta bahawa tafsir kesejarahan senantiasa mengandung bobot subjektivitas pengamat.

- Para peminat sejarah, mulai dari kalangan awam sampai ilmuwan dan filosof sekalipun, tampaknya hingga saat ini belum mencapai kata sepakat berkaitan dengan hal tersebut.

Bahkan, tak jarang di antaranya memiliki pandangan khas masing-masing yang didukung

alasan yang saling bertolak belakang. Sederhananya adalah “Tidak ada rumus baku dalam

mentafsirkan sejarah”

‘Tafsir’ menurut bahasa adalah menjelaskan dan menerangkan. Tafsir diambil dari kata ‘ Al-fasr’ yang dalam kamus dikatakan maknanya adalah menjelaskan dan membuka sesuatu yang tertutup. Oleh karenanya dalam bahasa Arab bahwa kata tafsir berarti, membuka secara maknawi dengan memperjelas arti-arti yang tertangkap dari redaksional yang tersurat atau tersirat ( eksplisit). Menurut Dzahabi, tafsir adalah seni atau ilmu untuk menangkap dan menjelaskan maksud-maksud tersebut baik yang jelas ataupun yang samar.

Pengertian tafsir dalam padanan dengan sejarah memang sedikit kita jumpai. Istilah sejarah biasanya disebut sebagai “historical explanation” atau penjelasan sejarah. “historical explanation” didefinisikan sebagai usaha membuat satu unit sejarah intelligible (dimengerti secara cerdas).

Kata “analisis” memang juga dipakai bergantian dengan “penjelasan”, diantaranya oleh Marc Bloch, terutama ketika orang menganalisis hubungan kausal antar gejala sejarah. Akan tetapi, karena kata “penjelasan” lebih sesuai untuk sejarah pada umumnya, sedangkan kata “analisis” tidak sepenuhnya sesuai dengan hakikat ilmu sejarah, maka lebih tepat dipakai kata “pejelasan sejarah”.

Sedangkan pengertian sejarah diantaranya menurut Nouruzzaman Shiddiqie mendifinisikan sejarah sebagai peristiwa masa lampau yang tidak hanya sekadar memberi informasi tentang terjadinya peristiwa itu, tetapi juga memberikan interpretasi atas peristiwa yang terjadi dengan melihat hukum sebab-akibat.

1 komentar: