Oleh : Drs. Choirul Anam, M. M.Pd.
(anambintar@gmail.com)
A. Latar Belakang
Bulan-bulan tertentu menjelang Ebtanas dan UMPTN, setiap tahun, adalah musimnya orangtua mengkonsultasikan anak-anaknya untuk mengikuti kursus atau lest dilembaga-lembaga. Persoalan orangtua (belum tentu persoalan anak juga) adalah bahwa anaknya, walaupun sudah kelas 3 SMU, belum jelas mau memilih jurusan apa di perguruan tinggi disamping itu dengan model penerimaan ke Perguruan Tinggi yang begitu banyak cara dan macam , rasanya menjadi momok tersendiri bagi anak dan orang tua, karena takut bahwa anaknya gagal di tengah jalan.
Sementara itu, dari pengamatan saya di ruang belajar dan pengalaman anak saya sendiri, rata-rata anak memang ingin lulus Ujian kemudian menuju UMPTN di Universitas-universitas favorit yang sesuai dengan bakatnya, tetapi tidak terbayangkan betapa ketatnya persaingan yang harus dihadapinya dengan berbagai macam cara dan berbagai ragam untuk mencapainya. Yang lebih gawat lagi tidak adanya perasaan urgensi (kegawatan) lebih nampak lagi pada pada anak-anak umumnya karena hampir-hampir sebagian besar anak tidak adanya persiapan yang serius, artinya kebanyakan anak tidak mempunyai kebiasaan belajar yang teratur, tidak mempunyai catatan pelajaran yang lengkap, tidak membuat mengerjakan PR, sering membolos (dari sekolah maupun dari les), seringkali lebih mengharapkan bocoran soal ulangan/ujian atau menyontek untuk mendapat nilai yang bagus dan tidak menggunakan Media IT untuk menunjang bertambahnya ilmunya.
Di sisi lain, cita-cita mereka (yang karena kurang baiknya hubungan anak-orangtua, sering dianggap tidak jelas) dimana antara keinginan , bakat dan minat siswa tidak ketemu . Disamping itu Sikap "jalan pintas" orang tua untuk mengeluarkan uang untuk masuk Perguruan Tinggi melalui kemitraan atau yang lain dengan biaya ratusan juta dengan semboyan “ Pokoknya jadi Dokter , Pokoknya anak saya jadi Pegawai , Pokoknya anak saya Jadi Polisi dan Pokoknya yang lain …. Yang tidak tidak sesuai “ Kewajiban menjalankan Perintah “ bahwa Mencari Ilmu adalah Kewajiban” dan “ Alloh Akan mengangkat derajat Orang – orang yang berilmu sesuai dengan tanda-tanda serta ciri-ciri anak yang diberikan Tuhan ( bakat dan minat ). Tentu saja hal yang demikian ini bisa merusak Tatanan hidup Ketuhanan, Tatanan Hidup keilmuan , Tatanan Moralitas dan tatanan-tatanan lain sebagai bentuk keharmonisan yang dikehendaki Tuhan. Pada kelanjutannya bukan hanya menyebabkan rusaknya keseimbangan diri manusia dalam hidup yang tidak sesuai, rusaknya motivasi belajar yang sangat kurang karena kurang mengena pada nur keilmuan , yang pada gilirannya nanti setelah berhasil juga menyebabkan timbulnya hidup yang tidak didasari ke ilmuan, untuk masa sepanjang hidup mereka. Dengan perkataan lain, anak-anak ini selamanya akan hidup di alam mimpi yang sangat rawan frustrasi dan kerusakan, yang pada gilirannya tentu bisa timbul banyak masalah lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ( lahir Gayus-gayus modern serta Markus-markus yang terus bergentangan) dan penyimpangan-penyimpangan lain ( Demo anarkis, foto/vidio mesum / porno ) dan sebagainya.
Teori Brofenbrenner yang berparadigma lingkungan (ekologi) ini menyatakan bahwa perilaku seseorang itu tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan dampak dari interaksi orang yang bersangkutan dengan lingkungan di luarnya. Adapun lingkungan di luar diri orang (difokuskan pada anak atau siswa SD-SLTA) oleh Brofenbrenner di bagi dalam beberapa lingkaran yang berlapis-lapis :
1. Lingkaran pertama adalah yang paling dekat dengan pribadi anak, yaitu lingkaran sistem mikro yang terdiri dari keluarga, sekolah, guru, tempat penitipan anak, teman bermain, tetangga, rumah, tempat bermain yang sehari-hari ditemui oleh anak.
2. Lingkaran kedua adalah interaksi antar faktor-faktor dalam sistem mikro (orangtua-guru, orangtua-teman, antar teman, guru-teman) yang dinamakannya sistem meso.
3. Di luar sistem mikro dan meso, ada lingkaran ketiga yang disebut sistem exo, yaitu lingkaran lebih luar lagi, yang tidak langsung menyentuh pribadi anak, akan tetapi masih besar pengaruhnya, seperti keluarga besar, polisi, POMG, dokter, koran, televisi dsb.
4. Akhirnya, lingkaran yang paling luar adalah sistem makro, yang terdiri dari ideologi negara, pemerintah, tradisi, agama, hukum, adat, budaya dsb.
B. Permasalahan
Kiranya hampir semua orangtua dan pendidik (dan semua orang juga) merasakan bahwa jaman sekarang ini terlalu banyak sekali perubahan. Para orangtua dari generasi "Tembang Kenangan" , Keroncong “ Gending jawa “,Campur sari “, “ Ketoprak” dan kesenian lain yang penuh ajaran moralitas, tidak bisa mengerti bahkan heran-heran ! Dalam Benak kita pasti bertanya Mengapa anak-anak sekarang lebih gandrung , lebih suka dan menikmati, lagu-lagu favorit mereka yang dibawakan oleh Dewa, Paterpan, Padi, ST 12 serta Lagu dangdut Melayu tahun 70-80-an. Tidak cukup disini Pertentangan, di kalangan generasi muda sendiri juga terdapat banyak versi musik (rap, reggae, house, salsa dsb.) yang masing-masing punya penggemar masing-masing.
Dalam setiap sektor kehidupan yang lain pun terdapat perubahan yang cepat. Karena itu jangan heran jika nilai-nilai nenek moyangnya sudah tidak dimengerti lagi oleh anak-anak "gaul" angkatan sekarang ini yang punya gaya bahasa "funky" tersendiri. Dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi perkembangannya adalah yang paling cepat. Anak SD sekarang sampai SMA sudah terampil menggunakan komputer, sedangkan Bapak dan eyang-eyang mereka menggunakan HP saja masih sering salah pencet.
Para ilmuwan, setelah menganilis situasi yang dahsyat di seluruh dunia tsb. di atas, menyimpulkan bahwa saat ini kita sedang memasuki era Postmodernism (disingkat: Posmo). Menurut para pemikir Posmo, jaman sekarang kira-kira sama dahsyatnya dengan jaman revolusi industri (ditemukannya mesin uap, listrik, mesiu dsb.) di akhir abad XIX yang juga berdampak berbagai peperangan dan revolusi (Perancis, Rusia), Depresi ekonomi, penyakit menular dsb.
Di Jawadan Indonesia umumnya , pusat kebudayaan di Kraton Mataram6, segera beralih ke Ismail Marzuki dan Chaeril Anwar setelah revolusi kemerdekaan. Tetapi di zaman tradisional maupun di zaman modern, masih terasa adanya pusat-pusat kekuasaan dan peradapan Manusia Indonesia kuno ) Kutai , Taruma Negara, Mataram, Sriwijaya, Bali, Makasar, Ternate Tidore, Kahuripan, Jenggala , Kediri, Singasari dan Majapahit yang kemudian dilanjutkan Kerajaan Islam Serta Perjuangan Mencapai Kemerdekaan melalui Organissai Modern Sampai dengan Tokoh-tokoh besar Nasional dan Proklamator . Tentu saja yang oleh manusia Indonesia hal ini sangat diperlukan sebagai patokan atau pedoman hidup, sebagai tolok ukur untuk menilai mana yang benar atau salah, baik atau buruk, indah atau jelek untuk mengembangkan “ Character dan Jati diri sebagai Bangsa “.
Tetapi dan rasanya sulit di jaman Posmo ini, anak-anak melihat lagi masa lalu yang penuh nilai seperti itu. Anak-anak lebih fokus melihat Masa sekarang ini , dengan perpegangan dan penilaian langsung dimana Tidak ada tokoh, Pemimpin, Aliran, Partai politik, ideologi, bahkan Tidak ada Lingkungan Mikro dan Makro ( Orang tua , keluarga , Tetangga dan sebagainya ) yang bisa dijadikan Panutan menonjol atau dominan dalam Kehidupannya. Bahkan agama pun, yang merupakan pranata yang paling konservatif, sering bersifat teoritis serta berubah-ubah dengan cepat sekali dengan timbul-tenggelamnya berbagai aliran, sekte dan bahkan agama-agama baru. Maka dapat dimengerti bahwa anak-anak akan terperangkap dalam kebingungan-kebingungan karena hampir tidak ada tolok ukur yang dapat dijadikan pegangan dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari kecuali berpegangan pada tontonan.
Kembali ke permasalahan bahwa dalam sistem Mikro orang-orang yang terdekat dengan anak dan setiap hari berhubungan dengan anak (ayah-ibu, kakak-adik, oom, tante, opa, pembantu, supir, teman sekolah, guru dsb.), maupun tempat-tempat di mana anak sehari-hari berada (rumah, lingkungan tetangga, kebun, sekolah, kota dsb.). Interaksi antara unsur-unsur dalam sistem Mikro tersebut dinamakan sistem Meso. Sistem Mikro dan Meso Dewasa ini anak juga akan berubah drastis. Aanak-anak denga Orangtua, guru, guru ngaji, orangtuanya teman-teman, apalagi televisi, tidak lagi satu bahasa dan seia-sekata dalam mendidik anak-anak. Di masa lalu, setiap ucapan orangtua hampir selalu konsisten dengan arahan guru di sekolah atau omongan orang-orang di surau atau di pasar. Tetapi sekarang apa yang dikatakan orangtua sangat berbeda dengan yang ditayangkan di TV, atau dengan omongan orangtuanya teman, atau nasihat ibu guru. Bahkan antara ayah dan ibu saja sering tidak sepaham, karena ibu-ibu jaman sekarang sudah sadar jender, punya penghasilan sendiri. Sementara itu, semasa kecil anak-anak membentuk kepribadiannya melalui masukan dari lingkungan primernya (keluarga). Sampai usia 5-8 tahun ia masih menerima masukan-masukan (tahap formative). Menjelang remaja (usia ABG) ia mulai memberontak dan mencari jati dirinya dan akan makin menajam ketika ia remaja (makin sulit diatur) sehingga masa ini sering dinamakan masa pancaroba. Inilah masa pancaroba ini pada hakikatnya merupakan tahap akhir sebelum anak memasuki usia dewasa yang matang dan bertanggung jawab, karena ia sudah mengetahui tolok ukur yang harus diikuti dan mampu menetapkan sendiri mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk dan mana yang indah dan jelek.
Tetapi masa pancaroba dalam diri individu itu akan lebih sulit mencapai kemantapan dan kematangan jika kondisi di dunia luar juga pancaroba terus terjadi dewasa ini . Dampaknya adalah timbulnya generasi remaja dan dewasa muda yang terus berpancaroba sampai dewasa. Generasi inilah yang saya temui di ruang praktek dengan kebingungan memilih jurusan, Perguruan Tinggi yang mana, bekerja apa nantinya, menjadi anak yang tidak punya harapan kedepan yang penting lulus dan dapat ijazah hal lain yang memperparah menjadi bimbang karena pacarnya tidak disetujui orangtua, kehabisan akal karena hamil di luar nikah atau berbuat layaknya pasangan suami istri ( Kumpul kebo) karena tidak bisa keluar dari kebiasaan menyalah gunakan Narkoba.
C. Pemecahan dan Solusi
1. Menghadapi era yang demikian yang serba tidak jelas ini, kesalahan paling besar, tetapi yang justru paling sering dilakukan, adalah mendidik anak berdasarkan tradisi lama dan tanpa alternatif. Artinya, semua yang diajarkan oleh orangtua mutlak harus diikuti, orangtua merasa punya hak dan kekuasaan atas anak, anak harus berbakti kepada orangtua dsb. harus di hilangkan.
2. Pengajaran di sekolah para guru pun masih sering berpatokan pada pepatah "guru adalah digugu/dipatuhi dan ditiru), sehingga benar atau salah guru harus selalu dipatuhi. Demikian pula dalam bidang agama, bahkan politik (masing-masing elit politik dan kelompok mahasiswa merasa dialah yang paling benar). Untuk itu harus diadakan perubahan dalam paradigma Pengajaran yang mengarah pada Pengembangan Idiologi yang berpegangan pada 4 pilar ( Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika ) sebagai perwujudan pembangunan “ Character dan Jati diri “
3. Pendidikan pada anak harus berorientasi pada pengembangan kemampuan anak untuk membuat penilaian dan keputusan (judgement) sendiri secara tepat dan cepat. Dengan perkataan lain, anak harus dididik untuk menilai sendiri yang mana yang benar/salah, baik/tidak baik atau indah/jelek dan atas dasar itu ia memutuskan perbuatan mana yang terbaik untuk dirinya sendiri. Anak yang dididik untuk selalu mentaati perintah orangtua, dalam pemberontakannya akan mencari orang lain atau pihak lain yang bisa dijadikannya acuan baru dan selanjutnya ia akan mentaati saja ajakan atau arahan orang lain itu (yang sangat boleh jadi justru menjerumuskan).
4. Mengubah Mindset berkembang Para Guru, Orang tua dan Masyarakat dalam memberikan suatu pengajaran dan pendidikan kepada anak-anak dengan menumbuhkan sikap kesadaran , kejujuran, kerja keras dan kerendahan hati ( tidak less effort syndrom ) menyukai keberhasilan atau kesuksesan tanpa usaha keras ( Dweek, 2007;83 ).
D. Penutup
Harus diakui bahwa menjadi orangtua atau pendidik jaman sekarang sangat sulit. Pertama, karena kebanyakan orantua belum pernah mengalami situasi seperti sekarang ini di masa kecilnya; kedua, karena mereka cenderung meniru saja cara-cara mendidik yang dilakukan oleh orangtua atau senior merekasendiri di masa lalu; dan yang ketiga, memang sangat sulit untuk mengubah pola pikir seseorang dari pola pikir tradisional dan pola pikir alternatif sesuai dengan tuntutan jaman sekarang.
Tetapi bagaimana pun berat dan sulitnya, upaya itu harus dilakukan, karena kalau tidak maka kita akan menjerumuskan generasi muda kita dalam kesulitan yang lebih besar.
Sumber :
Kesimpulan Hasil Mukernas : Pengajaran sejarah dalam Mengembangkan Character dan Jati Diri Bangsa ( 15 s/d 17 Juni 2010 di Batu Malang – Jawa timur )
- Prof. Dr. Hariyono
- Prof. Dr. S. hamid Hasan
- Prof. Dr. Aminuddin Kasdi
- Prof. Dr. Susanto Zuhdi
- Dr. Hari Umtoro Drajat ,MA ( Dirjen Kebudayan dan Pariwisata )
- Dr. Nur Hendro Nugroho
- Dr. Magdalia Alfian
- Dr. Agus Mulyana
- Dr. Muh. Abduh Zen , M.Hum
- Dra. Diah Harianti, M.Psi ( Dikmenum Pusat )
- Dr. Sabri S. ( Dirjen Nilai Sejarah )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar