Sabtu, 17 April 2010

Babad Sabdo Palon

RUNTUHNYA MAJAPAHIT

Tinjauan religius ( Sabdo Palon )

 

Peninggalan budaya pada Jaman Majapahit di Nusantara sekarang ini dapat dilihat situsnya di Mojokerto. Di sana ada Situs Majapahit tetapi karena bahan bakunya dari batu bata, maka tidak bisa bertahan lama, kini tampak telah aus dimakan waktu/keropos, runtuh.

Berbeda dengan peninggalan Candi-candi Majapahit yang lain di mana bahannya terbuat dari batu andesit, hingga kini masih utuh. Yang menarik untuk diperhatikan dan dipelajari adalah bagaimana Agama Buddha yang demikian besar di Jaman Majapahit akhirnya mengalami kemunduran hingga lenyap tidak dikenal sama sekali, yang tersisa tinggal berupa kepingan-kepingan sejarah.

Hal yang patut dicatat bahwa suatu agama akan berkembang menjadi besar bila didukung oleh beberapa syarat, sekurang-kurangnya ada lima, yaitu: Tingkat kerelaan umat; jika dari kemakmuran dan kerelaan cukup, pengadaan sarana dan prasarana demi kegiatan pengembangan keagamaan semua dengan mudah terwujud. Tingkat keimanan umat cukup mantap; artinya tidak mudah terpengaruh atau pindah agama.

Agama Buddha pada Jaman Majapahit menjadi besar karena lima hal tersebut di atas terpenuhi. Waktu itu Raja, pejabat tinggi negara, dan rakyatnya menganut cara berpikir Buddhis, beragama Buddha. Akan tetapi ketika yang terjadi sebaliknya, petinggi-petinggi negara beralih agama, para profesional (ulama) agama menyimpang dari haluannya, tingkat kesejahteraan rakyat tidak mendukung, keimanan goyah, maka lambat laun agama akan ditinggalkan. Begitu pula Agama Buddha pada jaman pasca Majapahit menjadi merosot tajam, lenyap hilang.

                                                   Cerita Babad Sabdo palon

Pada masa Raja ke-5 pada Jaman Majapahit yaitu Raja Brawijaya V mempunyai anak laki-laki hasil pernikahannya dengan Putri Campa (China), di mana sejak kecil anak tersebut yang diberi nama Raden Babah Patah dididik oleh Raja Ariyodamar di Palembang, Sumatera, yang telah beragama lain. Jadi Raden Patah diajar agama lain bukan Agama Buddha yang telah dianut di negeri itu, sampai Raden Patah menjadi besar dan kembali ke negeri Tanah Jawa di Kerajaan Majapahit. Oleh Brawijaya diterima dan diberikan wilayah kekuasaan untuk dibuka menjadi kerajaan baru. Tempat tersebut oleh Raden Patah dibangun bersama dengan guru-guru spiritualnya yakni para wali, jadilah

Kerajaan Demak Bintoro, di Jawa Tengah. Demi kepentingan tertentu guru-guru spiritualnya mendesak Raden Patah sebagai Raja Demak Bintoro, untuk segera mereformasi Majapahit berganti agama baru. Meskipun berkali-kali Raden Patah menunda-nunda permintaan gurunya, akan tetapi karena didesak dan didesak terus, akhirnya Raden Patah menurut juga. Oleh karena Brawijaya tidak mendidik Raden Patah untuk mempelajari Agama Buddha, akibatnya Raden Patah tidak menganut Agama Buddha, malah bermaksud mengganti agama yang dianut Brawijaya, orangtuanya.

Sampai suatu ketika Majapahit didatangi utusan tentara dari Demak, untuk tujuan mereformasi Majapahit. Prabu Brawijaya sebagai orangtua tentu berpikir panjang, apakah dia harus berperang berhadapan dengan anak, sedangkan sebagai orangtua rela kurang makan minum, kurang tidur, asal anak bahagia orangtua sudah cukup puas. Maka meskipun negeri kerajaan dalam keadaan didesak bahaya, daripada perang dengan anak, Prabu Brawijaya memilih pergi meninggalkan kerajaan; lewat pintu belakang beliau meninggalkan Kerajaan Majapahit menuju Blambangan.

Jadi Kerajaan Majapahit ketika itu bukan diambil alih dengan peperangan atau perundingan, tetapi tepatnya ditinggal pergi oleh rajanya. Raja Demak berhasil mengambil alih istana Kerajaan Majapahit, tetapi misinya dianggap belum sukses karena Prabu Brawijaya belum pindah agama baru. Akhirnya diputuskan untuk mengirim Raden Sahid Sunan Kalijaga menyusul Prabu Brawijaya ke Blambangan, di ujung timur Pulau Jawa. Tujuannya membujuk dan merayu, serta memohon agar Prabu Brawijaya kembali ke Majapahit dan berganti agama. Pembicaraan ini berlangsung berhari-hari sampai akhirnya Prabu Brawijaya menyanggupi untuk kembali ke Majapahit. Tetapi beliau mengatakan bahwa: "Saya mau kembali ke Majapahit bukan untuk kekuasaan sebagai Raja Majapahit, tetapi demi anak." Sudah jelas dikudeta, tetapi Prabu Brawijaya tetap tidak pupus rasa sayang pada anaknya.

Walaupun demikian misi para wali guru spiritual Raden Patah belum tercapai, maka berhari-hari terus diadakan dialog. Karena alotnya sampai suatu ketika dialog diambil alih oleh kedua penasehat spiritual Prabu Brawijaya yaitu Sabdopalon dan Noyoginggong (nama yang sudah diistilahkan, yang dimaksud adalah bhikkhu). Akhirnya Sabdopalon, Noyoginggong, dan Sunan Kalijaga berdebat seru mengadu ilmu dan kesaktian.

Di mana untuk membuktikan misi baru ini hebat, Raden Said mengambil air untuk mencuci muka, begitu tersentuh tangan, air tersebut berubah menjadi berbau wangi. Untuk menandai kejadian ajaib ini, maka di tempat itu diberi nama Banyuwangi. Akhirnya disepakati rombongan meninggalkan Blambangan menuju Majapahit.

Dalam perjalanan ke Majapahit rombongan berhenti di suatu tempat peristirahatan (villa). Di tempat itu diteruskan lagi diskusi yang belum usai. Sabdopalon dan Noyoginggong menerima keajaiban air wangi tidak tinggal diam, tetapi ingin menguji air wangi tersebut sampai kapan bertahan. Air wangi yang dibawa dalam bumbung (tabung) dari Blambangan, oleh Sabdopalon dan Noyoginggong dibuka tutupnya, ternyata air yang semula berbau wangi itu sekarang berubah menjadi berbau basin (busuk) dan banger.

Prabu Brawijaya berkata: "Saya sudah tua, semuanya demi anak. Permintaan saya, meskipun Majapahit sudah berganti pemerintahan tetapi jangan sampai dinodai tetesan darah. Saya sanggup berganti agama tetapi saya mempunyai permintaan, kalau saya meninggal jangan ditulis di sini makam Brawijaya, cukup diberi tanda 'di sini peristirahatan si putra bulan [trowulan]." Begitu Prabu Brawijaya memberi disposisi, kedua penasehat spiritualnya berkata: "Brawijaya, saya tidak akan mengikuti perjalananmu lagi, saya akan tidur saja, dan saya tidak akan bangun sebelum Agama Buddha kembali.

Dan ingatlah keharuman air wangi nanti akan bertahan selama 500 tahun dan 4 jaman." Usai berkata demikian Sabdopalon dan Noyoginggong "moksa" (menghilang). Mendengar kata-kata itu Brawijaya menangis tetapi semuanya sudah terlambat. Untuk memberi saksi harumnya air wangi menjadi berbau basin dan banger, tempat itu diberi nama Jember. Dihitung-hitung perjalanan dari Banyuwangi sampai Jember selama 4 hari dan 5 malam. Artinya keharuman itu nanti bertahan selama 500 tahun dan 4 jaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar