KIDUNG SUNDA
Kidung Sunda adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan berbentuk tembang (syair) dan kemungkinan besar berasal dari
Namun patih Gajah Mada tidak suka karena orang Sunda dianggapnya harus tunduk kepada orang Majapahit (bacaorang Jawa). Kemudian terjadi perang besar-besaran di Bubat, pelabuhan di mana orang-orang Sunda mendarat. Dalam peristiwa ini orang Sunda kalah dan putri Sunda yang merasa pilu akhirnya bunuh diri.
Versi kidung Sunda
Seorang pakar Belanda bernama Prof. Dr. C.C. Berg, menemukan beberapa versi Kidung Sundayana. Dua di antaranya pernah dibicarakan dan diterbitkannya, yaitu :
- Kidung Sunda
- Kidung Sundâyana (Perjalanan orang Sunda)
Kidung Sunda yang pertama disebut di atas, lebih panjang daripada Kidung Sundâyana dan mutu kesusastraannya lebih tinggi dan versi iniliah yang dibahas dalam artikel ini.
Ringkasan Perhatian:
Bagian di bawah ini mungkin akan membeberkan isi cerita atau akhir kisahnya. Di bawah ini disajikan ringkasan dari Kidung Sunda. Ringkasan dibagi per pupuh.
Pupuh I
Hayam Wuruk, raja Majapahit ingin mencari seorang permaisuri untuk dinikahi. Maka beliau mengirim utusan-utusan keseluruh penjuru Nusantara untuk mencarikan seorang putri yang sesuai. Mereka membawa lukisan-lukisan kembali, namun tak ada yang menarik hatinya. Maka prabu Hayam Wuruk mendengar bahwa putri Sunda cantik dan beliau mengirim seorang juru lukis ke sana. Setelah ia kembali maka diserahkan lukisannya. Saat itu kebetulan dua orang paman prabu Hayam Wuruk, raja Kahuripan dan raja Daha berada di
Maka Sri Baginda Hayam Wuruk tertarik dengan lukisan putri Sunda. Kemudian prabu Hayam Wuruk menyuruh Madhu, seorang mantri ke tanah Sunda untuk melamarnya.
Madhu tiba di tanah Sunda setelah berlayar selama enam hari kemudian menghadap raja Sunda. Sang raja senang, putrinya dipilih raja Majapahit yang ternama tersebut. Tetapi putri Sunda sendiri tidak banyak berkomentar. Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda dan memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka bertolak disertai banyak sekali iringan.
Namun ketika mereka naik kapal, terlihatlah pratanda buruk. Kapal yang dinaiki Raja, Ratu dan Putri Sunda adalah sebuah “jung Tatar (Mongolia/China) seperti banyak dipakai semenjak perang Wijaya.” (bait 1. 43a.)
Sementara di Majapahit sendiri mereka sibuk mempersiapkan kedatangan para tamu. Maka sepuluh hari kemudian kepala desa Bubat datang melapor bahwa rombongan orang Sunda telah datang. Prabu Hayam Wuruk beserta kedua pamannya siap menyongsong mereka. Tetapi patih Gajah Mada tidak setuju. Beliau berkata bahwa tidaklah seyogyanya seorang maharaja Majapahit menyonsong seorang raja berstatus raja vazal seperti Raja Sunda. Siapa tahu dia seorang musuh yang menyamar.
Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubat menuruti saran patih Gajah Mada.
Sedangkan di Bubat sendiri, mereka sudah mendengar kabar burung tentang perkembangan terkini di Majapahit. Maka raja Sunda pun mengirimkan utusannya, patih Anepakn untuk pergi ke Majapahit. Beliau disertai tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu. Mereka langsung datang ke rumah patih Gajah Mada. Di
Sementara raja Sunda setelah mendengar kabar ini tidak bersedia berlaku seperti layaknya seorang vazal. Maka beliau berkata memberi tahukan keputusannya untuk gugur seperti seorang ksatria. Demi membela kehormatan, lebih baik gugur daripada hidup tetapi dihina orang Majapahit.
Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya dan menyuruh mereka pulang. Tetapi mereka menolak dan bersikeras ingin tetap menemani sang raja.
Pupuh II (Durma)
Maka semua sudah siap siaga. Utusan dikirim ke perkemahan orang Sunda dengan membawa
Pertempuran dahsyat berkecamuk, pasukan Majapahit banyak yang gugur. Tetapi akhirnya hampir semua orang Sunda dibantai habisan-habisan oleh orang Majapahit. Anepakn dikalahkan oleh Gajah Mada sedangkan raja Sunda ditewaskan oleh besannya sendiri, raja Kahuripan dan Daha. Pitar adalah satu-satunya perwira Sunda yang masih hidup karena pura-pura mati di antara maayt-mayat serdadu Sunda. Kemudian ia lolos dan melaporkan keadaan kepada ratu dan putri Sunda. Mereka bersedih hati dan kemudian bunuh diri. Semua istri para perwira Sunda pergi ke
Pupuh III (Sinom)
Prabu Hayam Wuruk merasa cemas setelah menyaksikan peperangan ini. Beliau kemudian menuju ke pesanggaran putri Sunda. Tetapi putri Sunda sudah tewas. Maka prabu Hayam Wurukpun meratapinya ingin dipersatukan dengan wanita idamannya ini. Setelah itu, upacara untuk menyembahyangkan dan mendoakan para arwah dilaksanakan. Tidak selang lama, maka mangkatlah pula prabu Hayam Wuruk yang merana.
Setelah beliau diperabukan dan semua upacara keagamaan selesai, maka berundinglah kedua pamannya. Mereka menyalahkan Gajah Mada atas malapetaka ini. Maka mereka ingin menangkapnya dan membunuhnya. Kemudian bergegaslah mereka datang ke kepatihan. Saat itu patih Gajah Mada sadar bahwa waktunya telah tiba. Maka beliau mengenakan segala upakara (perlengkapan) upacara dan melakukan yoga samadi. Setelah itu beliau menghilang (moksa) tak terlihat menuju ketiadaan (niskala).
Maka raja Kahuripan dan raja Daha, yang mirip “Siwa dan Buddha” berpulang ke negara mereka karena Majapahit mengingatkan mereka akan peristiwa memilukan yang terjadi.
Analisis
Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan bukan sebuah kronik sejarah yang akurat, meski kemungkinan besar tentunya bisa berdasarkan kejadian faktual. Secara garis besar bisa dikatakan bahwa cerita yang dikisahkan di sini,
Kemudian cerita yang dikisahkan dalam Kidung Sunda juga bisa dikatakan logis dan masuk akal. Semuanya bisa saja terjadi, kecuali mungkin moksanya patih Gajah Mada. Hal ini juga bertentangan dengan sumber-sumber lainnya, seperti kakawin Nagarakretagama, lihat pula bawah ini.
Perlu dikemukakan bahwa sang penulis cerita ini lebih berpihak pada orang Sunda dan seperti sudah dikemukakan, seringkali bertentangan dengan sumber-sumber lainnya. Seperti tentang wafat prabu Hayam Wuruk dan patih Gajah Mada, penulisannya berbeda dengan kakawin Nagarakretagama.
Kemudian ada sebuah hal yang menarik, nampaknya dalam kidung Sunda, nama raja, ratu dan putri Sunda tidak disebut. Putri Sunda dalam sumber lain sering disebut bernamakan Dyah Pitaloka. Satu hal yang menarik lagi ialah bahwa dalam teks dibedakan pengertian antara Nusantara dan tanah Sunda. Orang- orang Sunda dianggap bukan orang Nusantara, kecuali oleh patih Gajah Mada. Sedangkan yang disebut sebagai orang- orang Nusantara adalah: orang Palembang, orang Tumasik (Singapura), Madura, Bali, Koci (?), Wandan (Maluku), Tanjungpura (Banjarmasin) dan Sawakung (?) (contoh bait 1. 54 b.) .
Hal ini juga sesuai dengan kakawin Nagarakretagama di mana tanah Sunda tak disebut sebagai wilayah Majapahit di mana mereka harus membayar upeti. Tapi di Nagarakretagama, Madura juga tak disebut.
Alih Bahasa :
- Maka ditanyalah dayang-dayang di manakah gerangan tempat Tuan Putri. Diberilah tahu berada di tengah ia, tidur. Maka datanglah Sri Baginda, dan melihatnya tertutup kain berwarna hijau keemasan di atas tanah. Setelah dibuka, terkejutlah sang Prabu karena sudah menjadi mayat.
- Pucat mukanya mempesona, matanya sedikit membuka, bibirnya indah dilihat, gigi-giginya yang tak tertutup terlihat manis, seakan menyaingi keindahan sri gading. Seakan-akan ia menyapa: “Sri Paduka, datanglah ke mari. Lihatlah kekasihnda (?), berbakti, Sri Baginda, datang ke tanah Jawa.
- Yang senantiasa berada di pikiran ayah dan ibu, yang sangat mendambakannya, itulah alasannya mereka ikut datang. Sekarang jadinya malah seperti ini. Jika datang kemarin dulu, wahai Rajaku, mungkin
- Mari kita harap wahai Raja, supaya berhasil menikah, berdampingan di atas ranjang tanpa dihalang-halangi niat buruk. Berhasillah kemauan bapak dan ibu, keduanya.” Seakan-akan begitulah ia yang telah tewas menyapanya. Sedangkan yang disapa menjadi bingung dan merana.
- Semakin lama semakin sakit rasa penderitaannya. Hatinya terasa gelap, beliau sang Raja semakin merana. Tangisnya semakin keras, bagaikan guruh di bulan Ketiga*, yang membuka kelopak bunga untuk mekar, bercampur dengan suara kumbang. Begitulah tangis para pria dan wanita, rambut-rambut yang lepas terurai bagaikan kabut.
*Bulan Ketiga kurang lebih jatuh pada bulan September, yang masih merupakan musim kemarau. Jadi suara guruh pada bulan ini merupakan suatu hal yang tidak lazim.
Referensi
- C.C. Berg, 1927, ‘Kidung Sunda. Inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen’. BKI 83: 1 – 161.
- C.C. Berg, 1928, Inleiding tot de studie van het Oud-Javaansch (Kidung Sundyana). Soerakarta: De Bliksem.
- Sri Sukesi Adiwimarta, 1999, ‘Kidung Sunda (Sastra Daerah Jawa)’, Antologi Sastra Daerah Nusantara, kaca 93-121.
- P.J. Zoetmulder, 1983, Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang.
- Wikipedia Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar